Senin, Agustus 24, 2009

1.__ Surat Terbuka Untuk Para Suami


Aku pernah membaca sebuah hadist, kurang lebih isinya gini “Pada suatu hari setelah Rosulullah wafat, beberapa sahabat datang kepada ibunda Aisyah, dari balik tabir, mereka bertanya kepada bunda Aisyah, “ wahai ummul mukminin, ceritakan kepada kami tentang perilaku Rosulullah yang paling menakjubkan yang pernah engkau alami selama bersama Beliau”. Bunda Aisyah sambil menahan tangis berkata “kaana kullu amrihi ‘ajaba… semua perilakunya adalah menakjubkan” kemudian Bunda Aisyah mulai bercerita tentang suatu peristiwa yang Beliau alami bersama suami tercinta.

Hadist ini menancap banget diingatanku, walau aku lupa dari buku mana aku baca hadist ini, tapi hadist ini tidak pernah aku lupakan. Kala itu aku belum menikah, aku selalu mikir mungkinkah kelak klo ada orang yang bertanya tentang suamiku aku akan jawab seperti bunda Aisyah?, tapi tiap pikiran itu muncul selalu aku tepis sendiri, “ah, hari gini, mana ada laki2 seperti itu, dapat suami yang mo ngaji ama jalanin syariat aja udah untung” besides orang2 yang ada disekelilingku nggak pernah ada yang gitu, semua yang berstatus istri, pasti isinya complain aja klo ditanya masalah suaminya, jarang disebut kelebihannya. Waktu itu walau masih muda, alhamdulillah aku dipercaya ama ibu2 muda untuk dicurhati, kadang bingung juga kasih solusi, habis belum pernah tau rasanya punya suami, tapi alhamdulillah dengan menyediakan telinga dan waktu sudah cukup membantu. Tapi akhirnya mau nggak mau berdampak pula padaku, aku jadi agak gimanaa gitu kalo ada yang nawarin taaruf ma ikhwan, takut merit sih, soalnya rumahtangga kok isinya gitu2 aja.

Akhirnya dengan modal Bissmillah, aku nikah ama ikhwan yang sama sekali belum aku kenal. Waduhh, minggu2 pertama isinya serba bingung, sebel, marah, bete campur aduk, nggak paham banget deh ama makhluk Allah yang bernama laki-laki, asli 100 persen semua jauuhh dari yang aku bayangkan. Aku maunya gini, dia maunya gitu, aku biasa gini, dia biasa gitu. Sampai2 wali murid di Playgroup tempat aku ngajar ikutan komentar “Ustadzah, setelah nikah kok kayaknya tidak tambah ceria ya, wajahnya kok tambah kelabu seperti ada mendungnya gitu” Degg, aku baru tersadar kalau suasana hatiku ternyata terbawa saat aku ngajar. Alhamdulillah ama temen sesama guru dijawab “tenang bu, masih penyesuaian, maklumlah kan belum pernah kenal sebelumnya” Masyaallah, malunya.., kok sampai segininya, kayaknya nggak gue banget deh. Dulu biasa dicurhati rumahtangga orang, masak aku nggak bisa mengambil pelajaran.

Alhamdulillah ternyata benar, minggu2 pertama ternyata hanya sedang proses, dengan komunikasi yang selalu lancar, kami bisa melalui masa2 itu dengan cepat. Dan sekarang setelah usia pernikahan kami sudah tidak terbilang baru lagi, dan berbagai ujian telah kami lalui, diberbagai kesempatan saat aku ngobrol ama teman2, dan beberapa ada yang bertanya, aku kembali teringat hadist itu “kaanaa kulu amrihi ajaba” setiap perilakunya adalah menakjubkan. Aku coba flashback, aku inget2 kejadian2 selama kami menikah, sifat2nya, perilakunya, ternyata aku have no complain at all. Bahkan kadang malu sendiri ama Allah, aku yang cuma gini2 aja, tapi suamiku baik banget. Baik bukan berarti selalu nurutin apa yang aku minta. Marah juga sering, nyebelin juga sering, tapi semua marahnya, semua nyebelinnya selalu njalur, dalam arti dia marahnya mang selalu untuk benerin aku, misal kalau aku rewel nggak mau ngaji, kalau ngajak jalan2 yang nggak jelas. Kalau aku marahpun juga lebih sering karena ketidaksabaran dan ketidakdewasaanku ku sendiri, dan dia selalu sabar nungguin, ngingetin, nasehatin, walau selalu aku hadapi dengan wajah yang dilipat2 ma bibir maju beberapa centi (soalnya sedang marah), tapi dia tetep aja sabar, klo suasana belum cair, dia nggak kan berhenti, sampai akhirnya (selalu) aku sadar klo ternyata marahku dan penyebab marahku nggak bermutu banget. Nggak berlebihanlah jika ibu2 pengajian atau temen yang bertanya tentang suamiku aku selalu katakan seperti bunda Aisyah katakan tentang suaminya. Kaana kullu amrihi ‘ajaba… Aku sangat beruntung menjadi istrinya.

Dulu aku lihat temen2 bahkan dalam keluarga, yang namanya laki2 ya kerja cari duit, semua kerjaan mulai dari bersih2 rumah, nguras bak mandi, masak, nyuci semua mutlak kewajiban istri (walau istri juga bekerja), jadi walau piring kotor numpuk, baju menggunung ya bisanya cuma nyuruh, akhirnya anak-anak (pengalaman pribadi nih) yang cuman nanya dimana letak sapu, jadi ikutan diomelin, “nggak lihat apa, ibu lagi ribet, capek, sana cari sendiri..!!“ (^_^!)...
Tapi setelah menikah, hal itu nggak aku temukan dalam diri suamiku. Walau kerjanya seharian penuh, dia nggak malu ikutan masak, bantuin cuci baju, antarin aku kepasar, sambil ikutan milihin barang, kadang cuma sekedar nungguin aku nyuci piring sambil bercerita tentang kejadian2 lucu ditempat kerjanya, tapi hal itu bener2 udah membuatku merasa dimengerti, diperhatikan dan disayang.

Apa mungkin para lelaki kira dengan bantuin istri mencuci piring, antar belanja, mereka kira itu suatu aib? Ah, masak laki2 ikut kepasar, gengsi dong, padahal demi Allah dengan mereka menjadi orang yang penuh perhatian dan pengertian seperti itu, akan semakin besar rasa hormat para istri, akan semakin menggunung rasa sayang mereka, dan akan semakin sering para suami terucap dalam doa mereka. Para istri kalian sadar akan kewajiban mereka, sebagaimana kalian sadar dengan kewajiban kalian mencari nafkah, tapi apakah salah kalau mereka ingin sekedar dimengerti kalau mereka mengurus rumah juga capek, ingin disayang. Saat istri ingin sejenak beristirahat setelah seharian mengurus rumah, dan kalian datang tapi ternyata lauk sudah habis dimakan anak2, apakah begitu beratnya mengambil wajan dan menggoreng telur untuk kalian makan sendiri? Mengapa harus berteriak menyuruh, lalu kalian dengan enaknya menonton tv sambil menunggu.

Ketauilah, dari mata mereka terbuka tadi pagi, sudah ada sederetan pekerjaan yang harus mereka lakukan, karena pengertian dengan gaji kalianlah mereka tidak minta pembantu. Saat kalian tidak sedang bekerja, luangkan waktu dirumah, lihatlah istri kalian, mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur lagi, coba kalian list pekerjaan mereka, betapa capeknya dia. jika kalian memang tidak bisa membantu pekerjaannya, cobalah diperingan, jangan pelit2 membelikan mesin cuci misalnya. Ada cerita, pamanku yang dulu bertugas sebagai tentara, dulu tidak pernah tau kerepotan istrinya, setelah sekarang beliau pensiun dan sehari2 dirumah melihat semua pekerjaan istrinya dari bangun tidur sampai tidur lagi, beliau langsung membeli mesin cuci, blender, rice cooker sekaligus, saat kami tanya kenapa, jawabnya “ternyata selama ini aku udah dolim pada istriku, coba kalau ada robot yang bisa menyetrika dan cuci piring, tentu aku akan beli juga, aku benar2 kasihan melihat istriku dirumah”.

“Pada suatu hari, datanglah seorang laki-laki kerumah khalifah ‘Umar ibn Al Khattab, untuk mengadukan kekurangan istrinya. Beberapa saat lamanya ia menunggu didepan pintu rumah khalifah, kemudian dia mendengar suara istri Amirul Mukminin sedang marah dan menghamburkan kata-kata kasar kepada suaminya. Tetapi ‘Umar diam dan tidak menyahut.
Lelaki itupun berpikir, melihat kepada dirinya sendiri dan berkata “ keadaanku..kalau Khalifah saja diperlakukan seperti itu, apalagi aku..”
Tak lama kemudian ‘Umar keluar, kali-laki itu ditanya. “Apa tujuan kedatanganmu?”
“Ya Amirul Mukminin..”, ucapnya sendu. “Aku datang untuk mengadukan perihal istriku. Ia sangat cerewet dan begini begitu. Akan tetapi aku telah mendengar sendiri, bahwa istri anda sama dengan istriku. Lalu akupun berpikir, kalau istri Amirul Mukminin begitu, apatah lagi istriku..”
“Adapun aku..”, kata ‘Umar, “aku tabah dan sabar menghadapi kenyataan it karena ia telah menunaikan kewajiban-kewajibannya, dialah yang memasak makananku, dia yang membuatkan roti untukku, dia yang menyusui anak-anakku…, padahal it bukan kewajibannya sepenuhnya.”
“Dan dia juga yang menentramkan hatiku, sehingga aku dapat menjauhkan diri dari perbuatan haram. Karena itulah aku tabah dan sabar padanya…” (Ustad Abu Muhammad Jibril;Lelaki Shalih)

Setiap suami ataupun istri punya kelebihan dan kekurangan, begitu juga istri kalian. Yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, yang akan selalu bengkok kalau tidak diluruskan dan akan patah kalau terlalu keras meluruskannya. Namun semua kekurangan terkadang menjadi tidak berarti saat segala kelebihannya teroptimalkan, begitu juga dengan kalian para suami, betapa banyak kelebihan kalian yang kadang belum kalian optimalkan. Aku tidak berharap semua suami bisa seperti suamiku, sebagaimana banyak juga istri2 seperti aku yang pasti juga sepaham denganku. Para suami, tolong sadari dan mengertilah pada istri kalian, beri semangat, ajak jalan2 kalau waktu luang, bantulah pekerjaannya, jangan malah menambah bebannya, atau setidaknya hiburlah dia, dengarkan semua keluhannya, sediakan telinga supaya dia tidak curhat pada temannya, tapi pada kalian sahabat sejatinya. Dan sekali waktu coba kalian renungkan, jika istri kalian ditanya temannya tentang suaminya, kira-kira apa yang terucap dari mulut mereka?
“Istri, arah kalian berlari dari yang haram menuju yang halal. Berlari dari dosa mencari pahala. Berlari dari hina menuju mulia. Berlari dari tempat maksiat ke tempat ibadat. Berlari dari syaitan yang keji menuju istri yang suci. Bukankah itu bisa berarti berlari dari neraka menuju surga?, Subhanallah, kapanpun kalian pulang, bukankah kalian berharap surga itu memang selalu hadir dirumah kalian? Sudahkah ia mendapati kemanfaatan dari keberadaan kalian?” (Salim A. Fillah;NPSP)

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf...”(QS. Ql Baqarah:228)

Untuk suamiku,
menjadi istrimu adalah sesuatu yang selalu aku takutkan, aku takut dengan kualitas diriku yang cuma segini, tidak bisa menjadi istri sholihah bagimu, aku takut mendolimimu, menyia-nyiakan karunia Allah yang berupa dirimu.
Suamiku,
menjadi istrimu adalah sesuatu yang selalu aku sesalkan, aku menyesal mengapa tidak dari dulu Allah menyatukan kita, sehingga bisa lebih banyak lagi waktu yang bisa kita habiskan bersama.
Suamiku,
menjadi istrimu adalah sesuatu yang selalu aku tangisi, aku menangis karena khawatir semua amal baikku sudah dibalas Allah dengan menghadirkan seorang suami sebaik dirimu.
Suamiku,
menjadi istrimu adalah karunia Allah yang sangat berat bagiku, berat karena aku harus bersaing dengan puluhan bahkan ratusan bidadari disurga kelak yang pasti akan memperebutkanmu, sedang aku yang juga berharap kembali menjadi istrimu disana, akankah mampu bersaing dengan mereka?
Maafkan aku kalau aku belum bisa menjadi istri yang sholihah…
Berjanjilah kau akan memilihku kembali untuk jadi istrimu kelak, bukan para bidadari bermata jeli itu…

“Demi masa sesungguhnya manusia dalam keadaan kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr)

2 komentar:

  1. assalamualaikum salam kenal www.tapas.laros.or.id
    sunaryo
    085232376176

    BalasHapus
  2. wa'alaikumsalam ww
    salam kenal balik kami dari tapas al-hilal
    maaf belum sempat memperbarui blog.
    tapas banyuwangi nampaknya rajin on line, jadi malu.. salam untuk saudara2 disana..

    BalasHapus